Rabu, 14 April 2010

DON’T SEE A BOOK BY ITS COVER

“Yah, jangan lupa beliin coklat. Itulah yang sering Kang Wira dengar setiap pagi ketika nganterin anak ke sekolah. Dan memang Kang Wira seperti biasa, siangnya lupa membelikannya. Hasilnya, anaknya sewot, “Ayah nih kenapa sih lupa terus, aku kan pengen coklat. “Ya udah nanti ayah beliin”, Kang Wira membujuk anaknya. Untuk menebus rasa bersalahnya Kang Wira langsung pergi membeli coklat pesenan anaknya. Dibelinya sekaleng coklat, dipilihnya kaleng yang masih bangus dengan tanggal kadaluarsa yang masih jauh.

“Makasih, Yah”. Anakku menerima coklat itu dengan senangnya. Dia langsung buka kalengnya dan ambil sebungkus yang bungkusannya juga masih bagus. Langsung dimakannya coklat itu. “Hueek …tiba tiba anak Kang Wira muntah. “Kenapa Nok”, Kang Wira menanyakan. “Yah kok coklatnya enggak enak. Kang Wira langsung mengambil coklat yang digenggaman anaknya, dia juga mengambil sebungkus coklat dari kaleng. Ketika diraba coklat yang masih dibungkus terasa lembek tidak seperti coklat biasanya yang keras. Ketika ia coba jilat coklat yang sudah terbuka memang terasa agak enggak enak. Kang Wira cepat ambil dan masukan ke dalam kaleng coklat yang tersisa dan beberapa bungkus coklat yang lain. “Dah jangan dimakan nanti ayah belikan lagi coklat yang enak, menghibur anaknya yang kecewa.

Di supermarket Kang Wira langsung menuju customer’s service, “mBak kalau jualan tolong barangnya di periksa dulu, masa menjual barang yang jelek dan sudah rusak”, kata Kang Wira dengan kekesalan yang ditahan. Kang Wira menyerahkan coklat yang terasa agak enggak enak itu. “Mas, semua barang yang kami tawarkan sudah melalui pemeriksaan, baik kemasan maupun produk, tapi produk ini memang rasanya demikian”, kata penjaga itu dengan ramah. Lah, inilah resiko mencoba produk baru, tidak tahu barang langsung dibeli saja, pikir Kang Wira. Akhirnya dia terpaksa membeli coklat merek lain yang dia tahu anaknya suka.

Sampai di rumah, Kang Wira kedatangan tamu. Teman ketika di Sekolah Dasar meminta bantuan agar anaknya bisa masuk ke sekolah dimana Kang Wira bekerja. Kenapa ingin masuk kesekolah kami ? Kang Wira mencoba basa basi. Sekolahnya sampean kan termasuk sekolah favorit, Kang. Gedungnya bagus, fasilitasnya lengkap, terus anak anak nya pinter pinter, satu lagi Kang. Sekolahan Akang kan termasuk RSBI makanya anak saya ingin belajar disekolah sampean (anda), teman Kang Wira mencoba memberi alasan dengan memuji sekolahnya. Tapi kan bulanan nya (uang sekolah) mahal, kata Kang Wira memberi pendapat. Apalah artinya duit kalau untuk pendidikan anak, katanya seperti pejabat berpendapat. Ya sudah nanti saya bantu mendaftarkannya, tapi tidak menjamin anak sapean bisa masuk kecuali lulus test seleksi, Kang Wira mencoba berdiplomasi. Ayolah Kang, sampeankan orang dalam, pasti ada jatah untuk memastikan anak saya bisa lulus seleksi, kata teman Kang Wira merajuk. Kira kira berapa Kang ongkosnya? Tanyanya. Maksudnya? Kang Wira balik bertanya. Ya untuk memastikan anak saya bisa masuk itu. Wah saya kurang paham itu, jawab Kang Wira . Ya udah nanti saya akan ngomong langsung ke kepala sekolah sampean apa yang dibutuhkan sekolah katanya dengan sedikit kesal karena Kang Wira tak bisa membantunya.

Hari ini ada briefing dari Bapak Kepala Sekolah. Briefing adalah menu mingguan setelah upacara bendera tiap hari senin. Ada rasa kebanggaan di wajah beliau, “Sekolah kita sekarang telah meningkat mutunya dari sekolah regular menjadi Rintisan Sekolah Berstandar Internasional. Salah satu sarat untuk menjadi RSBI adalah tersedianya sarana gedung yang memadai untuk sekolah berstatus SBI, kita telah diberi dana oleh pemerintah untuk membangun gedung yang nantinya akan kita lengkapi dengan sarana multi media. Dengan demikian ujar beliau mutu siswa akan meningkat pula. Kejenuhan dan kelelahan sehabis upacara membuat peserta briefing kurang konsentrasi pada isi briefing, termasuk Kang Wira. Koran yang di tangan hanyalah alat untu menutupi matanya yang terpejam. Berita yang didepannya yang menyatakan bahwa indek keterpercayaan Perguruan Tinggi Negeri terhadap mutu lulusan SLTA baik SMA maupun SMK di Jawa Barat hanya 10% lamat lamat hilang dari pandangannya. Suara kebanggaan itupun sudah lama tak terdengar. “Ru … ru ngajar ru” terdengar suara temen Kang Wira menyadarkan dari tidurnya. Bergegas Kang Wira menuju kelas.

Kang Wira sedang mengawas ujian sekolah. Ada beberapa kesalahan soal yang harus diralat membuat Kang Wira harus menulis di papan tulis. Tiba tiba spidol yang ia gunakan tintanya habis. Kang Wira mencari spidol yang masih bisa digunakan, dua yang lain sudah tidak bisa lagi digunakan karena sudah kering. “Coba kamu ke ruang tata usaha minta spidol baru atau tintanya saja”, Kang Wira menyuruh salah seorang siswa. “Pak pintunya dibuka saja pak, gerah, Kata anak yang dibelakang, “AC nya mati”, yang lain berteriak. Pak spidol dan tintanya habis pak kata staf TUnya, anak yang disuruh mengambil spidol di TU itu telah kembali. Ya …. Sudah kerjakan kembali pekerjaanmu kata Kang Wira. Dia ingat ada spidol dalam tasnya. Ketika meraba isi tasnya didapat coklat yang dia beli kemarin, lupa ngasihkan ke anaknya yang meminta. Dipandangi coklat itu bungkus dan kertasnya kurang menarik. Di buka bungkusnya dan di coba coklat itu ternyata enak. Kang Wira lupa bahwa dia harus menulis ralat soal yang salah tulis di papan tulis. Jangan melihat coklat dari bungkusnya!

Kamis, 01 April 2010

Monkey and The broken Mirror

Hari ini Kang Wira Kesel sudah hampir dua jam nungguin istrinya yang lagi dandan mau pergi kondangan. 'Bu, cepetan sih, Bu. Sudah hampir jam sembilan nih, khan enggak enak kalau terlambat datangnya. Sedang apa sih, dandannya koq lama banget?. "Sabar sih yah, ini juga hampir selesai. Sudah sebatang rokok dihabiskan namun istrinya belum juga keluar dari kamar, Kang Wira masuk melihat istrinya sedang magut magut diri di depan cermin sambil cemberut. Dia lihat istrinya berkali kali memoles wajahnya dan menghapus kembali bedak yang dipolesnya. Dia tidak puas atas hasil yang didapat masih banyak clemang clemong disana sini. Akhirnya, bedak bertaburan di cermin hasil lemparan istri, untung tidak pecah.

Koran hari ini memberitakan hal yang Kang Wira baca, tak mampu menghapus suara kekesalan istri atas kegagalan usahanya menghias wajah, belum lagi kekesalannya menunggu lama. Berita hari ini yang mengabarkan tentang pro dan kontra pelaksanaan Ujian Nasional, sepertinya hal yang rutin tiap akan pelaksanaan UN, ini pun tak mampu menepis kekesalan kang Wira. Kalau pelaksanaan UN yang amburadul jangan UN nya yang di hapus kata Kang Wira dalam hati menumpahkan kekesalannya. Ujian Nasionalkan adalah cermin prestasi siswa dalam belajar, Kang Wira berpendapat. Masa, pelaksanaan yang amburadul dan hasil UN kurang memuaskan mesti menghapus UN, Kang Wira meneruskan komentarnya. “Sudah, Yah, yuk kita berangkat”, kata istri mengagetkan Kang Wira.

Dirumah yang hajat Kang Wira ketemu teman temannya dan ngobrol ngalor ngidul. “Coba bayangkan kita disuruh bayar pajak, iklan menyarankan kita menjadi wajib pajak yang baik, dari pak presiden sampai pak RT ngejar ngejar orang supaya bayar pajak, udah bayar duitnya ditilep oleh orang pajaknya sendiri, kata teman sebelah Kang Wira kesal. Yang lainnya malah menyarankan kalau begini mendingan jangan bayar pajak lagi, percuma katanya. Kang Wira menyeringai sambil berkata jangan karena oknum yang jahat maka aturan yang diganti. Seberapapun banyak aturan yang diganti kalau pelaksananya kayak Gayus semua ya tetep aja.

Dekat dengan rumah yang punya hajat banyak orang yang berkumpul, anak anak bersorak kegirangan, suara gending dan gendang bersautan. Kang Wira melongok ada apa gerangan, di tengah kerumunan seekor monyet sedang naik mobil main. Penonton tertawa senang, anak anak kegirangan. Sang Pawang memegang ujung rantai yang mengikat pinggang sang monyet, member perintah melalui hentakan. “Sekarang Sarinten mau kepasar, biar cantik kita dandan dulu. Sang pawang memberikan kotak dan cermin, dan monyet itu membuka kotak dan bertingkah seperti sedang bedakan. “Coba udah cantik belum?” Kata pawang. Dia mengambil cermin dan berkaca, tiba tiba monyet itu membanting kaca dan berubah galak dan menyeringai memperlihatkan gigi giginya. Monyet itu lari mengejar anak kesana kemari karena tertahan rantai. Tiba tiba rantainya putus, monyet itu lari mengejar Kang Wira. Dia lari ketakutan untung bisa ditangkap lagi sama pawangnya. Istrinya tertawa terpingkal entah mentertawakan diri sendiri atau melihat suaminya lari tunggang langgang.